MASIH ADAKAH AMAL YANG TERSISA?

Oleh: Abdullah Makhrus


ثَوَابُ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا

“Balasan dari kebaikan adalah kebaikan setelahnya.”


Momentum Ramadan realitanya sudah selesai. Kegembiraan dan sukacita beramal saleh mungkin telah usai. Namun pertanyaannya pada diri kita kemudian, apakah semua amal ibadah ini kita akhiri sampai disini saja? Tentu tidak. Mengapa? Karena perjalanan hidup kita masih ada yang tersisa. 


Ada sisa umur yang perlu kita lanjutkan. Kita isi dan kita lengkapi dengan berbagai amalan. Ada tenggang waktu dimana kita masih diberikan kesempatan. Melengkapi sisa-sisa waktu untuk terus melakukan ketaatan. Sampai kapan? Hingga datang masa, saat kita kembali kepadaNya mempertanggungjawabkan apa yang sudah kita lakukan.


Ketaatan itu perlu kita wujudkan dengan amal saleh berikutnya. Meskipun tidak sebaik amal di bulan Ramadan sebelumnya. Namun, setidaknya janganlah ditinggalkan semuanya.


Tentu, kita ingat akan pesan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-. beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,


أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”(HR. Muslim)


Guru kami ust Rohmad S.L. pernah mengatakan. Salah satu motivasi yang bisa kita ambil pelajaran dari Ramadan adalah bagaimana mendapatkan sumber energi dahsyat dalam setiap amal kebaikan. Energi itu berasal terpancar pada sebuah kebiasaan. Hal ini disebut sebagai syakhshiyah atau kepribadian.


Syakhshiyah (kepribadian) pada diri seseorang sendiri terbentuk oleh oleh dua hal utama yaitu ‘aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap/perasaan). ‘Aqliyah adalah cara yang digunakan untuk memikirkan sesuatu berdasarkan kaidah tertentu yang diimani dan diyakini seseorang. 


Agar lebih mudah dipahami, aqliyah itu adalah adalah menentukan sesuatu itu benar atau salah berdasarkan nash syariah. Sedangkan, nafsiyah(pola sikap) adalah perasaan yang dilibatkan sebelum  melakukan segala sesuatunya. Bahasa gampangnya adalah apakah dia senang atau terpaksa dalam melaksanakan sebuah amalah.


Sebagai contoh, ketika ada perintah Allah “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih). Apa yang terlintas dalam diri kita?


Setelah kita mencoba memikirkan perintah tersebut, seseorang akan menyatakan bahwa apa yang diperintahkan Allah ini secara aqliyah(berdasarkan akal), perintah ini benar. Saat lapar orang memang sebaiknya segera makan. 


Apalagi ketika seseorang diminta menyegerakan untuk berbuka, secara nafsiyah(perasaan) itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Maka, ketika perintah ini menuntut untuk dilaksanakan maka seseorang akan mendapatkan energi yang besar untuk bisa melakukan.  Karena hal ini sangat sesuai pula dengan apa yang manusia inginkan.


Akan berbeda ketika seseorang perokok diberikan pilihan untuk terus merokok atau berhenti. Sesungguhnya seseorang yang berpikir dia akan tahu bahwa ada banyak sekali dampak buruk yang ia ketahui. Bahwa di dalam rokok terkandung lebih dari 4.000 jenis bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh pengonsumsi. 


Selain penyakit kanker tenggorokan, terdapat beberapa dampak buruk lainnya yang mungkin terjadi kepada para perokok aktif maupun pasif. Di antaranya penyakit paru-paru kronis, merusak gigi dan menyebabkan bau mulut, menyebabkan stroke, serangan jantung yang kian agresif.


Masih ada lagi, tulang mudah patah, gangguan pada mata, salah satunya seperti katarak. Menyebabkan kanker leher rahim dan keguguran pada wanita, menyebabkan kerontokan rambut (promkes.kemkes.go.id, 10 Februari 2023).  


Bahkan di bungkus rokok sendiri tercantum jelas tulisan MEROKOK MEMBUNUHMU. Pertanyaannya, apakah itu membuat orang akan berhenti merokok? Lalu pabrik rokok turun omzetnya kemudian bangkrut dan gulung tikar? Nyatanya TIDAK.


Secara akal(aqliyah) mungkin semua orang mengetahui bahwa aktivitas ini sesungguhnya membahayan diri perokok. Namun, perasaan(nafsiyah) senang akan ”nikmatnya” merokok seolah menutup cara berpikirnya akan bahaya yang nyata-nyata ada didepannya. Ini yang kemudian membuatnya akan terus merokok.


Perasaan SENANG, inilah yang menjadi kuncinya. Oleh karena itu, sesungguhnya ketika kita mampu memadukan perasaan senang dan rasa masuk akal bahwa sesuatu itu hal yang benar, maka kita akan menemukan energi dahsyat dalam melakukan sebuah amal.


Mari kembali ke bahasan topik kita. Masih adakah suatu amal tersisa yang bisa kita lakukan usai Ramadan? Mari kita cek amal saleh apa yang bisa kita lakukan di sisa umur kita. Hari ini kita bertemu dengan bulan syawal. Ada perintah Allah yang disunahkan yaitu puasa syawal.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Artinya “Siapa saja yang berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun” (HR Muslim).


Mari kita berpikir secara akal, bukankah ini adalah perintah yang pahalanya cukup menggiurkan? Secara akal seharusnya kita semua berlomba mengambil kesempatan ini dengan melaksanakan puasa syawal karena Allah sudah menjanjikan pahala seperti berpuasa setahun. Pernahkah kita berhasil puasa setahun penuh?


Tentu ini tidak pernah kita lakukan. Namun, tawaran mendapatkan pahala itu bisa didapatkan hanya dengan melaksanakan 6 hari puasa syawal. Bukankah itu hal yang mudah? Bukankan kita sudah menjalani puasa sebulan dengan rasa ringan dan senang. Buktinya kita sudah pernah berlomba amal di bulan lalu.


Maka, tinggal menambahkan dan memunculkan perasaan SENANG dalam menjalankan ibadah puasa syawal ini agar amal ringan dengan pahala yang sangat berbobot ini bisa kita tunaikan dengan penuh kegembiraan. Bagaimana caranya?


Dulu, pernah ada kawan yang memberikan nasehat pada saya agar kita senang melalukan amalan-amalan sunnah. Caranya adalah memberikan pemaknaan yang berbeda. Jika selama ini orang cenderung mengartikan bahwa sunnah itu adalah sebuah amal yang dilakukan berpahala, jika tidak dilakukan tidak apa-apa. Maka, cenderung orang memilih tidak melakukan.


Namun, berbeda rasa apabila kita memaknainya bahwa amalan sunnah seperti puasa syawal  ini dengan makna yang berbeda. Apa itu? Sunnah adalah sebuah amal yang jika DILAKUKAN BERPAHALA, dan jika tidak dilakukan, maka kita akan KEHILANGAN KESEMPATAN MENDAPATKAN PAHALA.


Dalam Islam tidak dikenal istilah beramal saleh secara musiman misalnya, ketika Ramadan seseorang aktif  salat berjamaah lima waktu, ibadah sunah seperti qiyamul lail, shalat-shalat sunah, tilawah  Al-Qur'an, bersedekah, dan amal-amal saleh lainnya. Namun, selesai Ramadhan dimanakah amal-amal itu kini berada?.


Maka, sesuai dengan apa yang disampaikan Ibnu Rajab menjelaskan dalam kitab Latho-if Al Ma’arif dengan membawakan perkataan salaf lainnya, 


”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan, namun malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”


Jikalau kini kita diberi kesempatan umur yang tersisa. Pertanyaan besarnya,  masih adakah amal saleh tersisa usai Ramadan? Mari bertanya pada diri sendiri karena hanya diri kita yang mampu menjawabnya.