_Oleh: Abdullah Makhrus_

 

_“Pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”_ *(Ki Hadjar Dewantara)*

 

Pekan lalu, di kamis pagi 21 Desember 2023 belasan orang tua sedang duduk mengantri untuk mengambil raport anaknya di ruang kelas 4. Setelah mendengarkan penjelasan dan beberapa informasi dari sekolah, secara bergantian satu per satu mereka menghadap wali kelas putra-putrinya.

 

Saat menghadap ke wali kelas kebanyakan orang tua menanyakan bagaimana nilai akademik anaknya. Namun, ada satu satu orang tua yang membuat saya cukup terkejut. Beliau tidak membuka pertanyaan terkait akademik sama sekali. Tahukah Anda, apa yang beliau tanyakan?

 

Wali murid ini bertanya, bagaimana perilaku anaknya kepada guru-guru dan wali kelasnya. Beliau memperjelas kembali dengan menanyakan bagaimana sopan santunnya anaknya pada guru-gurunya. Karena ia sangat khawatir jika anaknya tidak sopan kepada gurunya.

 

Tentu, pertanyaan ini termasuk sangat jarang diutarakan orang tua. Selama beberapa tahun, kebanyakan mereka hanya fokus pada bagaimana perkembangan kognitif anak-anaknya. Apalagi orang tua zaman _now_ pada umumnya hanya mengejar dan menuntut prestasi akademik anaknya.

 

Pembuka pertanyaan yang tidak biasa ini tentu membuat saya kaget, karena cukup jarang orang tua menanyakan perihal budi pekerti anaknya di awal pembicaraan. Selaku wali kelas, hal ini tentu menjadi refleksi bagi saya. Ternyata masih ada orang tua yang masih peduli dan berfokus pada pembangunan karakter dan akhlak anaknya.

 

Karena hari ini begitu banyak kasus anak didik dengan perilaku “liar” berseliweran di media sosial. Mulai dari kasus bullying pada teman, membentak orang tua, bahkan termasuk membentak dan melukai guru yang mengajarkan ilmu pada mereka.

 

Karena itu, pembentukan dan penggemblengan karakter pada peserta didik perlu mendapatkan porsi perhatian lebih di saat guru sedang mengajar. Jangan sampai karena guru berfokus mengejar ketuntasan materi, namun pembentukan karakter justru kita abaikan.

 

Mari sejenak kita bercermin, bagaimana dulu para guru (ulama salaf) sangat memberi perhatian pada pembentukan karakter, utamanya pada adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu.

Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

 

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

 

Pertanyaannya, kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Ulama Yusuf bin Al Husain berkata,

بالأدب تفهم العلم

 

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

 

Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi pun senada mengatakan, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”

 
Karena itu, mari kita merefresh tugas kita untuk mendampingi anak didik. Bahwa tugas dan peran kita sebagai guru, tidak semata mentransfer pengetahuan akademis, tetapi juga nilai-nilai, sikap, keterampilan sosial, dan pengembangan karakter positif pada diri anak.

 

Sekali lagi, bahwa tugas penting kita ada pada upaya membentuk kepribadian, pemahaman tentang etika, moral, dan sikap yang baik pada peserta didik. Di samping itu tetap memberikan keterampilan yang relevan dengan kehidupan, mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan dan peran mereka dalam masyarakat di masa depan.

 

Semoga tulisan ini menjadi sedikit refleksi bagi kita. Mari kembalikan ruh dan orientasi kita dalam mendidik. Agar generasi yang kita tinggalkan, menjadi pembelajar sepanjang hayat. Selanjutnya mereka akan bermetamorfosis menjadi para pemimpin tangguh, berhias adab, dan turut membangun peradaban. Insya Allah.