Oleh: Abdullah Makhrus

 

Siapa yang tidak ingin menikah? Mungkin sebagian besar kita akan menjawab,”Tidak ada.” Apakah menikah itu termasuk kebutuhan atau keinginan? Inilah yang perlu kita diskusikan lebih lanjut.  

Apa perbedaannya? Berdasarkan artikel di www.kumparan.com yang berjudul “Memahami Perbedaan Kebutuhan dan Keinginan”, sebagian orang ada yang masih kesulitan membedakan keduanya. Padahal, memahami perbedaan kebutuhan dan keinginan dapat membuat seseorang menjadi lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.

Mengutip buku Minimalisme: Cara Membuat Hidup Lebih Ringan dan Bebas Tekanan oleh Mahdianto, kebutuhan dapat diartikan sebagai sesuatu yang sangat diperlukan manusia demi kelangsungan hidupnya.

Sumber gambar: https://www.salimmedia.com/product/minimalisme-cara-membuat-hidup-lebih-ringan-dan-bebas-tekanan/

Sementara itu, mengutip buku Panduan Pengelolaan Remitansi pada Rumah Tangga untuk Kegiatan Ekonomi Produktif tulisan Afridah Ikrimah, dkk., salah satu hal yang membedakan antara kebutuhan dan keinginan adalah sifatnya.

Sumber gambar: https://uns.ac.id/id/uns-students/mahasiswa-uns-buat-buku-panduan-pengelolaan-remitansi-pada-rt-untuk-produktif.html

Sebagai perbandingan,  kebutuhan lebih didasarkan pada fakta bahwa ada hal-hal tertentu yang diperlukan manusia untuk bertahan hidup dan berkembang. Ini bersifat universal dan berlaku untuk semua orang.

Misalnya, semua orang butuh makanan untuk mendapat energi, nutrisi, atau smartphone untuk kebutuhan komunikasi. Termasuk makanan, pakaian, kendaraan atau pun rumah untuk tempat tinggal.

Keinginan bersifat subjektif karena didasarkan pada preferensi pribadi. Misalnya, seseorang mungkin punya keinginan untuk memiliki smartphone dengan merek dan kecanggihan tertentu untuk meningkatkan status sosial atau memenuhi kepuasan emosionalnya.

Sementara itu, berdasarkan artikel berjudul “Konsep Kepribadian Islam Menurut Taqiyuddin An Nabhani” yang dimuat pada Jurnal ISLAMIKA, Vol. 2, No. 2 (2019): 132-143, memberikan ulasan bahwa ada dua kategori kebutuhan manusia. Kebutuhan inilah yang mendorong manusia melakukan aktivitas untuk memenuhinya.

Apa saja dua kebutuhan itu? Pertama, kebutuhan jasmani. Kebutuhan jasmani ini merupakan kebutuhan dasar yang timbul akibat kerja struktur organ tubuh manusia. Jika kebutuhan dasar tersebut tidak dipenuhi, struktur organ tubuhnya akan mengalami gangguan dan bisa mengakibatkan kerusakan.

Sebagai contoh, jika tubuh manusia kekurangan air, maka kerja organ tubuhnya akan mengalami gangguan yang kemudian akan menyebabkan penyakit (Abdurrahman, 2010). Contoh lainnya adalah kebutuhan akan istirahat, makan, minum, buang hajat, maupun kebutuhan lain yang berkaitan dengan kebutuhan fisik manusia. 

 Kedua, kebutuhan terkait pemenuhan naluri (gharizah).  Naluri atau insting adalah potensi pada diri manusia untuk cenderung terhadap sesuatu (benda) dan perbuatan. Adanya potensi ini membuat manusia terdorong untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dan perbuatan.

Naluri itu tidak bisa terindera dengan indera secara langsung. Namun akal yang dititipkan Allah pada manusia, mampu mengindera eksistensinya melalui penampakan-penampakannya(Abdullah, 2002)

Mengenai kebutuhan naluri (gharizah), beliau membagi tiga tiga jenis naluri, yaitu : a) Gharizah al-tadayyun (naluri beragama), b) Gharizah al-baqa’ (naluri mempertahankan diri).  c) Gharizah al-nau’ (naluri melestarikan keturunan).

Nah, sekarang akan kita bahas satu persatu. Pertama, gharizah al-tadayyun (naluri beragama). Naluri ini yang membangkitkan seseorang untuk mencari sesuatu yang disucikan, diagungkan, disembah, termasuk dimintai pertolongan. Hal ini muncul karena kesadaran manusia, bahwa dirinya memiliki kelemahan. 

Adapun wujud dari pemenuhan naluri ini adalah menyucikan terhadap sesuatu yang diyakini sebagai Sang Pencipta, atau sesuatu yang diilustrasikan sebagai manifestasi Sang Pencipta. Terkadang penyucian itu nampak dengan manifestasi yang benar dalam aktivitas ibadah.  Terkadang, nampak dengan aktivitas  dalam bentuk penghormatan dan pengagungan (An Nabhani, 2015).

Jika seseorang salah dalam pemahaman ini, mereka akan menyucikan, mengagungkan manusia, benda, atau makhluk lain yang dianggap memiliki kelebihan laiknya Sang Pencipta. 

Kedua, Gharizah al-baqa’ (naluri mempertahankan diri).Naluri ini pun menjadi bagian dalam kehidup manusia untuk bisa terus eksis dan mempertahankan kedudukannya. Perlu kita ketahui, setiap manusia mempunyai keinginan untuk memiliki, merasa takut, berani, senang berkelompok dan berbagai aktifitas sejenis, yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri. 

Maka, kita melihat seseorang yang sudah memiliki kedudukan tidak mau diturunkan dari jabatannya. Seseorang yang dihadang perampok, ia bisa berteriak atau melawan untuk mempertahankan dirinya. Inilah manifestasi dari naluri ini.

Ketiga, Gharizah al-nau’ (naluri melestarikan keturunan). Ini adalah sebuah naluri alami yang ada pada diri manusia untuk menjaga dan melestarikan kelangsungan hidupnya, untuk menjaga spesiesnya.

Penampakan dari naluri ini adalah hadirnya rasa keibuan, kebapakan, kasih sayang, dan masih banyak lagi. Semua itu hanyalah penampakan atau manifestasi dari naluri ini. 

Bentuk lainnya adalah keinginan untuk memiliki pasangan hidup. Namanya juga pasangan, maka secara normal semestinya seorang laki-laki mencari pasangan hidup dengan seorang perempuan. 

Namun, kadangkala seseorang yang tidak memiliki iman justru ingin dipuaskan oleh manusia dengan sesama jenisnya (LGBT). Bahkan, mereka melakukan kesesatan dengan mencari kepuasan dengan binatang atau dengan sarana-sarana lainnya.

Kebutuhan jasmani seperti contoh yang telah dijelaskan di atas, menuntut pemuasan secara pasti. Kebutuhan-kebutuhan tersebut, jika tidak dipenuhi, akan mengakibatkan bahaya yang dapat menimbulkan kematian.

Namun Sebaliknya, naluri manusia tidaklah menuntut pemuasan secara pasti (An Nabhani, 2015). Apabila naluri-naluri tersebut tidak dipenuhi, maka tidak akan menimbulkan bahaya terhadap fisik, jiwa, maupun akal manusia.

Jika belum terwujud, manusia akan merasakan gelisah selama naluri tersebut masih bergejolak. Setelah gejolak naluri tersebut reda, rasa gelisah itupun akan hilang. 

Oleh karena itu menikah adalah bagian dari kebutuhan manusia. Menjadi bagian dari naluri manusia. Pemuasan naluri tidak lain hanya untuk mendapatkan ketenangan dan ketenteraman.

 Senada dengan yang tercantum dalam al-Quran surah Ar Rum ayat 21:

“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

 Menikah adalah bagian dari perintah untuk menyempurnakan agama. Sebagaimana disampaikan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,  ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

 Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

 Berdasarkan ayat dan hadis di atas, setelah seseorang menikah semestinya hidupnya lebih tenang dan tentram. Jika kita yang telah menikah belum menemukan kebahagiaan dan ketentraman, maka ada yang patut untuk kita evaluasi.

Lantas, bagaimana dengan Anda yang belum menikah dan belum menemukan pasangan hidup? Saya doakan Anda segera dipertemukan dengan jodoh terbaik. Bagaimana cara mudah menemukan pasangan hidup agar tetap sesuai syariah? Ikuti ulasan di artikel selanjutnya.

 #jodoh #hijrah #nikah #cinta #dakwah #menikah #islam #jomblo #taaruf #pemudahijrah #jodohduniaakhirat #asmara #nikahmuda #beraniberhijrah #carijodoh #pernikahan #motivasi #alquran #teladanrasul #jomblofisabilillah #indonesia #muslimah #jodohpastibertemu #tausiyahcinta #nikahyuk #hijrahcinta #taarufnikah #jodohislam